Senin, 20 Oktober 2008

WOiiiii..........

Hi…kawan, ini saatnya BSI exist di permukaan (dulu kemana aza…tenggelem kale??). sudah menjadi sebuah kebiasaan Qta (mahasiswa satra Inggris UIN BDG) kmpul2 dlm acara English Conversation Club a.k.a ECC once a week. Sekarang saatnya Qta exist di kampus orang laen, Qta adain silaturahmi ke kampus tetangga (rencananya seh…ke UPI BDG). Kan kata Rosul juga silaturahmi itu dpt memanjangkan umur, gto ya pa ustad? Oleh karena itu untuk lebih prepare lg, Qta siapin mental, penampilan (itu yg utama), kesehatan (itu juga penting) and d’most important is artos, so kumpulin artos dari sekarang bwt akomodasi, transportasi, dokumentasi, konsumsi, aliterasi, asonansi, de el el…. (itu kan bisa di manage sama kosma masing2), Setuju gak kawan??? Rencananya Qta pergi k sono pertngahan atw sblm akhir semester genap, jadi Qta punya waktu bwt nabung DARI SEKARANG, sedikit demi sedikit kan lama2 jadi sakit,,,,eh,buKiT!!!
Insya Alloh berkah,,,kan niatnya juga silaturahmi skalian aza maen + refreshing….
Mau tau info slanjutnya? Tongkrongin trus blog ini + ikutan ECC every week.

Berbahasa Ibu di Kampus?

Oleh: Yaya Mulyamantri

Bahasa dapat kita klasifikasikan menjadi empat tingkatan, yaitu: bahasa ibu atau dalam istilah bahasa Inggris disebut mother tongue, bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa internasional. Di zaman globalisasi saat ini bahasa sangat penting, agar kita tidak ketinggalan informasi kita sebaiknya menguasai keempat klasifikasi tersebut. Bahasa ibu sebagai bahasa yang digunakan di rumah; bahasa daerah digunakan di lingkungan tempat tinggal; bahasa nasional biasanya digunakan di lingkungan pemerintahan, pengadilan, pendidikan dan lainnya (bersifat formal) sebagai bahasa persatuan; dan bahasa internasional digunakan untuk berinteraksi dengan masyarakat dunia untuk mendapatkan informasi lebih banyak lagi.

Sebagai mahasiswa kita seharusnya menguasai keempat bahasa tersebut karena bahasa ini sangatlah penting sebagai alat untuk mendapatkan banyak informasi. Tetapi sekarang kita tidak akan mengulas keempat bahasa ini, kita akan lebih menyoroti bahasa ibu (mother tongue) khususnya bahasa sunda yang sudah memiliki banyak perubahan. Sebagai orang sunda kita harus menyoroti pergeseran bahasa sunda baik secara makna maupun penggunaannya. Kita sekarang banyak menemukan kosakata sunda yang digunakan tidak pada tempatnya.


Bahasa ibu biasanya dianggap sebagai bahasa yang pertama dikenal dan diajarkan di rumah. Bahasa ibu biasanya sangat berhubungan erat dengan mother talk atau baby talk. Sebagai masyarakat Jawa Barat yang dilahirkan di Bandung seharusnya kita mendapatkan bahasa sunda sebagai mother tongue. Tetapi fenomena sekarang ini banyak orang tua yang mengajarkan anaknya bahasa Indonesia yang sebenarnya berfungsi sebagai bahasa nasional. Sebenarnya masih ada orang tua yang mengajarkan bahasa sunda tetapi sudah memiliki banyak pergeseran baik penempatannya maupun maknanya.

Sebelum mengulas lebih lanjut, sebaiknya kita flashback bagaimana sejarah bahasa sunda. Bahasa sunda diresmikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1912 dan tercatat dalam World Language Report dari UNESCO ETXEA yang berpusat di Bilbao Basque Country pada tahun 2001 (melalui kuesioner). Bahasa sunda telah lama diteliti sejak tahun 1912 bahkan sampai diadakan Kongres Bahasa Sunda tahun 1952 dan akhirnya kita mengenal bahasa sunda saat ini yang telah memiliki pergeseran makna.

Sebenarnya pergeseran bahasa sunda sudah ada sejak dulu, seperti kosakata serapan dari bahasa Cina: ci artinya cai, ngawuluku (wu: lima, ku: jenis padi, lu:bajak, dan kia: yang diteriakan kepada kerbau) artinya membajak sawah, seka (si-ka) artinya mencuci sedangkan mencuci muka: sibeungeut (si-bing-e). Apakah sekarang ada pergeseran bahasa yang baru? Tetapi sekarang kita lebih banyak melihat pergeseran dalam makna dan penempatan bukan dalam pergeseran bahasa khususnya bahasa serapan. Jadi, apa yang harus kita lakukan sebagai orang sunda?

Di dunia kampus khususnya, kita akan banyak menemukan beberapa kejanggalan dalam berbahasa khusunya bahasa sunda. Memang benar, tidak semua mahasiswa di Bandung atau Jawa Barat seorang Sudanese, tetapi sebaiknya sebagai orang sunda kita harus memeliharanya dengan cara berkomunikasi dengan bahasa sunda kepada orang sunda lagi tentunya. Namun demikian, bahasa Indonesia tetap digunakan sebagai komunikasi dalam ruang pendidikan bukan bahasa pergaulan sehari-hari di kampus.

Mengapa kita harus memelihara bahasa ibu? Menurut penelitian 6000 bahasa di dunia 50% akan punah. Indonesia yang memiliki sekitar 731 bahasa berpeluang punah sampai sekarang khususnya bahasa daerah. Salah satu penyebabnya adalah kurang kompetennya generasi muda dalam berbahasa khususnya bahasa ibu. Oleh karena itu, mari kita pelihara bahasa ibu bukan hanya bahasa sunda tetapi kita pelihara bahasa ibu masing-masing.

Untuk mengatasi problem ini UNESCO mencanangkan Hari Bahasa Ibu Internasional sejak tahun 1991. Peringatan ini bertujuan untuk membangun kesadaran terhadap bahasa ibu. Karena bahasa ibu, bahasa sunda khususnya berperan sebagai bahasa budaya berbeda dengan bahasa nasional (Indonesia) sebagai contoh, orang sunda akan menjawab bersin dengan kata hurip waras atau dalam bahasa Inggris bless you.

Mari kita budayakan bahasa ibu di kampus-kampus sebagai bahasa pergaulan. Peringatan Hari Ibu Internasional bisa kita jadikan alat untuk memelihara bahasa ibu dengan diadakan diskusi-diskusi atau acara-acara yang mendukung terhadap existence mother tongue. So, berbahasa ibu di kampus, mengapa tidak?

Penulis adalah mahasiswa S1 jurusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN SGD Bandung

Jumat, 17 Oktober 2008

PENTING UNTUK REMAJA

Remaja Membutuhkan Pendidikan Reproduksi
MASA pancaroba bagi remaja disebut-sebut sebagai periode yang susah-susah gampang bagi orangtua untuk menanganinya. Kebanyakan orangtua mengakui bahwa memberi bekal untuk remaja putri agar mereka mampu menghadapi berbagai gejolak kehidupan sebenarnya tidaklah mudah.
Meski orangtua sudah bersusah payah menyediakan berbagai fasilitas, termasuk pendidikan yang terbaik untuk anak putri mereka, namun toh orangtua takkan sanggup menghindari godaan dunia yang semakin menghadang kehidupan remaja global sekarang ini.
Perkembangan teknologi komunikasi yang menyebar berbagai informasi dan hiburan budaya pop, kini semakin deras dan takkan mungkin bisa dibendung hanya dengan mengurng anak di rumah atau dengan menyediakan berbagai fasilitas canggih di rumah.
Sesuai dengan perkembangannya, anak-anak putri masa kini tak mungkin dipingit seperti cerita novel Siti Nurbaya, karena kehidupan menuntut mereka untuk tampil lebih luwes dan lebih bergaul dengan dunia luar. Dengan demikian, berbagai acara darmawisata, diskotik, nonton, ikut klub olahraga, sudah menjadi bagian acara rutin remaja.
Hampir semua remaja di belahan dunia mana pun sekarang ini berada dalam situasi yang penuh godaan dengan semakin banyaknya hiburan di media yang menyesatkan.
Dengan informasi yang terbatas dan perkembangan emosi yang masih labil, mereka sudah dihadapkan pada berbagai godaan seperti film-film Barat yang menawarkan nilai-nilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai budaya Timur.
Itu sebabnya, seorang kepala SMU favorit di Jakarta sangat terperanjat ketika mengetahui ada siswi yang terlibat dalam 'transaksi seks' hanya karena dorongan seks semata bukan uang atau kebutuhan materi lainnya.
Namun yang jelas dari berbagai data empiris yang ada, sebenarnya anak-anak remaja putri itu sangat membutuhkan pendidikan seks yang benar. Diakui, sebagian besar masyarakat memang masih meragukan manfaat pendidikan seks itu bagi remaja putri, namun dengan melihat semakin membangkaknya jumlah remaja yang hamil di berbagai belahan dunia, maka pandangan yang masih ragu-ragu itu agaknya perlu segera menyadarinya.
Kehamilan tak diharapkan:
Data terakhir, sekitar 60 persen kelahiran anak di kalangan remaja di dunia adalah kehamilan yang tak diharapkan. Satu di antara remaja usia 19 tahun tidak mempunyai akses untuk mendapat kontrasepsi.
Lebih dari dua pertiga wanita di negara berkembang mendapat pendidikan kurang dari sembilan tahun, demikian laporan Alan Guttmacher Institute, suatu lembaga penelitian kesehatan nonprofit.
"Kehidupan anak-anak muda ini sungguh mengenaskan," ujar Jeannie Rosoff, presiden lembaga tersebut.
"Sebagian remaja outri itu terpaksa drop out, karena harus segera menikah, dan sebagian lagi mengalamai eksploitasi seks. Namun banyak diantaranya yang tidak ingin menyerah pada nasib, dan berusaha untuk bangkit mengatasi hidupnya," tambahnya.
Ia menyatakan temuannya itu sebagai hasil perbandingan statistik dari 53 negara di seluruh dunia dengan jumlah penduduk sekitar 75 persen dari seluruh penduduk dunia.
Ditemukan, bahwa remaja putri di negara berkembang yang terpaksa keluar dari sekolah, sudah melakukan hubungan seks di bawah usia 20 tahun, menikah muda dan tidak pernah menggunaakan kontrasepsi.
Oleh sebab itu, menurut para akhli, hanya dengan pendidikanlah untuk dapat menyelamatkan remaja putri di seluruh dunia. "Terbukti, anak-anak yang menikah muda ternyata menurun tajam di negara-negara yang dengan serius memperhatikan pendidikan dengan menyediakan akses cukup untuk mendapat pendidikan, sosial, kesehatan," demikian dilaporkan lembaga itu.
"Masih di negara berkembang, banyak wanita sudah mempunyai anak pertama pada usia di bawah 18 tahun, sementara wanita-wanita di desa-desa dengan pendidikan tidak menyukai kontrasepsi, dan hampir semuanya terpaksa melahirkan dan menemui risiko kehamilan yang cukup gawat," demikian laporan itu.
Namun masalah ini sebenarnya bukan urusan negara berkembang saja. Di Amerika Serikat, tujuh di antara 10 remaja yang melahirkan adalah kelahiran yang tak diinginkan.
Jika mereka mampu menunda beberapa tahun saja untuk punya anak atau keluarga, mungkin jumlah anak akan lebih sedikit dan dapat menghindari resiko kehamilan muda, bahkan mungkin mampu menjadi anggota masyarakat yang lebiuh produktif.
Bekal iman, pendidikan, pergaulan yang sehat, serta hubungan yang mesra antara orangtua dengan anak serta keterbukaan dalam ekeluarga merupakan bekal yang amat berharga bagi remaja putri agar mereka dapat meniti kehidupan dengan selamat. (anspek/O-1)
sumber:Media Indonesia Online, 23 November 2003
Kesetaraan Cowok dan Cewek
Wah susah banget ya jadi cewek! Begitu banyak pesan: awas pemerkosaanlah, pelecehan seksual-lah, atau tindak kriminal lain. Belum lagi kalau "salah" pakai baju. Bahkan, karena sering dianggap lemah dan mesti dilindungi, sering kali cewek hanya "pantas" dijadikan "korban". Kalau begitu, betapa tidak enaknya menjadi cewek.
Pengalaman ini melekat dan diajarkan secara turun-temurun oleh orangtua kita, masyarakat, serta lembaga pendidikan yang ada dengan sengaja atau tanpa sengaja. Demikian sistematis dan lamanya pola pengajaran perilaku (peran) ini sehingga membuat kita berpikir bahwa memang demikianlah adanya peran-peran yang harus kita jalankan. Bahkan, kita menganggapnya sebagai kodrat. "Kan memang kodrat gue sebagai cewek untuk lemah gemulai, mau menerima apa adanya, dan enggak boleh membantah. Sementara saudara gue yang cowok harus berani, tegas, dan bisa ngatur!" Begini kita sering memahami peran jenis kelamin kita, bukan?
Dari kecil kita telah diajarkan, cowok akan diberikan mainan yang memperlihatkan kedinamisan, tantangan, dan kekuatan, seperti mobil-mobilan dan pedang-pedangan. Sedangkan cewek diberikan mainan boneka, setrikaan, alat memasak, dan lainnya.
Lalu, ketika mulai sekolah dasar, dalam buku bacaan pelajaran juga digambarkan peran-peran jenis kelamin, contohnya, "Bapak membaca koran, sementara Ibu memasak di dapur". Peran-peran hasil bentukan sosial-budaya inilah yang disebut dengan peran jender. Peran yang menghubungkan pekerjaan dengan jenis kelamin. Apa yang "pantas" dan "tidak pantas" dilakukan sebagai seorang cowok atau cewek.
Kondisi ini enggak ada salahnya kok. Nah, akan menjadi bermasalah ketika peran-peran yang telah diajarkan kemudian menempatkan salah satu jenis kelamin (baik cowok maupun cewek) pada posisi yang tidak menguntungkan. Karena enggak semua cowok mampu bersikap tegas dan bisa ngatur, maka cowok yang lembut akan dicap banci. Sedangkan jika cewek lebih berani dan tegas akan dicap tomboi. Tentu saja hal ini enggak enak dan memberikan tekanan.
Memperjuangkan kesetaraan
Memperjuangkan kesetaraan bukanlah berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi, ini lebih kepada membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi cowok atau cewek, sama pentingnya, untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, termasuk terlibat aktif dalam organisasi sosial-politik dan proses-proses pengambilan keputusan.
Hal ini mungkin bisa terjadi jika mitos-mitos seputar citra (image) menjadi "cowok" dan "cewek" dapat diperbaiki. Memang enggak ada cara lain. Sebagai cowok ataupun cewek, kita harus menyadari bahwa kita adalah pemain dalam kondisi (hubungan) ini. Jadi, untuk bisa mengubah kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan ini, maka baik sebagai cowok ataupun cewek kita harus terlibat.
Meskipun banyak korban dari sistem yang ada sekarang adalah cewek, bukan berarti usaha-usaha untuk mengubahnya adalah tanggung jawab cewek semata. Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya, tentu saja kesepakatan harus dibangun di antara kita dong, baik sebagai cewek ataupun cowok. Lalu bagaimana kita memulainya?
1 Bangun kesadaran diri
Hal pertama yang mesti kita lakukan adalah membangun kesadaran diri. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan. Karena peran-peran yang menimbulkan relasi tak setara terjadi akibat pengajaran dan sosialisasi, cara mengubahnya juga melalui pengajaran dan sosialisasi baru. Kita bisa melakukan latihan atau diskusi secara kritis. Minta profesional, aktivis kesetaraan jender, atau siapa pun yang kita pandang mampu membantu untuk memandu pelatihan dan diskusi yang kita adakan bersama.
2 Bukan urusan cewek semata
Kita harus membangun pemahaman dan pendekatan baru bahwa ini juga menyangkut cowok. Tidak mungkin akan terjadi perubahan jika cowok tidak terlibat dalam usaha ini. Cewek bisa dilatih untuk lebih aktif, berani, dan mampu mengambil keputusan, sedangkan cowok pun perlu dilatih untuk menghormati dan menghargai kemampuan cewek dan mau bermitra untuk maju.
3 Bicarakan
Salah satu cara untuk memulai perubahan adalah dengan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan tekanan atau diskriminasi. Cara terbaik adalah bersuara dan membicarakannya secara terbuka dan bersahabat. Harus ada media untuk membangun dialog untuk menyepakati cara-cara terbaik membangun relasi yang setara dan adil antarjenis kelamin. Bukankah ini jauh lebih membahagiakan?

4 Kampanyekan
Karena ini menyangkut sistem sosial-budaya yang besar, hasil dialog atau kesepakatan untuk perubahan yang lebih baik harus kita kampanyekan sehingga masyarakat dapat memahami idenya dan dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan. Termasuk di dalamnya mengubah cara pikir dan cara pandang masyarakat melihat "cowok" dan "cewek" dalam ukuran "kepantasan" yang mereka pahami. Masyarakat harus memahami bahwa beberapa sistem sosial-budaya yang merupakan produk cara berpikir sering kali enggak berpihak, menekan, dan menghambat peluang cewek untuk memiliki kesempatan yang sama dengan cowok. Jadi ini memang soal mengubah cara pikir.
5 Terapkan dalam kehidupan sehari-hari
Tidak ada cara terbaik untuk merealisasikan kondisi yang lebih baik selain menerapkan pola relasi yang setara dalam kehidupan kita masing-masing. Tentu saja semua harus dimulai dari diri kita sendiri, lalu kemudian kita dorong orang terdekat kita untuk menerapkannya. Mudah-mudahan dampaknya akan lebih meluas.
Harry Kurniawan Cemara PKBI Sumatera Barat

Peer Pressure Vs Peer Motivation
Oleh: Heri Susanto PKBI DKI Jakarta
Suka atau enggak, begitu banyak persoalan yang kita hadapi sebagai remaja. Mulai dari masalah yang paling umum, sederhana, tapi juga sekaligus ”rumit”, yaitu seputar kisah asmara, sampai masalah-masalah yang bergesekan dengan hukum dan tatanan sosial yang berlaku di sekitar kita.
Secara sadar, tentu kita enggak pernah menginginkannya. Namun kenyataannya sh*t happens. Ada aja kejadian yang menggiring kita ke arah sana. Alasannya macam-macam. Misalnya, dengan tujuan untuk menunjukkan solidaritas antarteman, mendapatkan pengakuan dari kelompok, atau untuk menunjukkan identitas diri. Bisa juga untuk menunjukkan kemandirian, meminta pembuktian cinta, dan lain sebagainya. The problem is, banyak yang mengambil pilihan solusi yang salah.
Ujung-ujungnya malah jadi dianggap melakukan ”kenakalan-kenakalan”. Kayak tawuran, nge-drugs, malak, bolos sekolah, kekerasan dalam pacaran, pemerkosaan terhadap teman atau bahkan pacar, bersikap konfrontatif terhadap orangtua, dan lain-lain.
Memang banyak ahli psikologi yang menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh masalah, penuh gejolak, penuh risiko (secara psikologis), over energi, dan lain sebagainya, yang disebabkan oleh aktifnya hormon-hormon tertentu.
Masalahnya, apa yang dibilang para ahli itu justru menggiring sebagian kita pada pemahaman bahwa keadaan atau perilaku tersebut adalah sebuah kewajaran baru. Yang akan tetap lestari dari generasi ke generasi. Waduh! Ngeri dong?
”Peer pressure”
Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang yang kita alami. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group.
Demi geng ini kita sering kali dengan rela hati mau melakukan dan mengorbankan apa pun hanya karena sebuah kata-kata ”sakti”, yaitu solidaritas. Luar biasa memang jika geng ini memiliki arah kemudi yang tepat sehingga bisa menjadi wadah positif bagi kita. Tapi yang menjadi persoalan adalah terkadang solidaritas di antara kita itu bersifat semu, buta, dan destruktif, yang malah mencederai makna solidaritas itu sendiri.
Demi alasan solidaritas, sebuah geng sering kali memberikan tantangan atau tekanan-tekanan kepada anggota kelompoknya (peer pressure) yang terkadang berlawanan dengan hukum atau tatanan sosial yang ada. Tekanan itu bisa saja berupa paksaan untuk menggunakan narkoba, mencium pacar, melakukan hubungan seks, melakukan penodongan, bolos sekolah, tawuran, merokok, corat-coret tembok, dan masih banyak lagi.
Secara individual, awalnya kita mungkin merasa enggak nyaman melakukan ”tantangan” itu. Tapi karena ada peer pressure, plus rasa ketidakberdayaan untuk meninggalkan kelompok, serta ketidakmampuan untuk mengatakan ”tidak”, akhirnya apa pun yang dikehendaki kelompok secara terpaksa dilakukan. Lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan akhirnya melekat menjadi sebuah karakter yang diwujudkan dalam berbagai macam perilaku negatif.
Peer pressure tidak hanya bisa diperoleh dari kelompok, tapi bisa juga dari individu, walaupun biasanya tekanan dari individu tidak lebih berat dari tekanan kelompok. Dari individu maupun kelompok, peer pressure dapat berpengaruh buruk dalam kehidupan kita, bisa dalam bentuk perubahan perilaku negatif atau pengaruh psikologis seperti rasa takut, sedih, minder, dan cemas, yang tentunya akan memengaruhi pencitraan orang lain terhadap kita.
”Peer motivation”
Hidup adalah sebuah pilihan. Jika kita mau melihat ke berbagai sisi dalam menjalani berbagai pernak-pernik kehidupan kita, kita akan selalu menemukan alternatif untuk segala hal, termasuk mau diarahkan ke mana pola pergaulan kita.
Kelompok atau teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup kita. Jika kita berada dalam lingkungan pergaulan yang penuh dengan ”energi negatif” seperti yang terurai di atas, segala bentuk sikap, perilaku, dan tujuan hidup kita menjadi negatif. Sebaliknya, jika kita berada dalam lingkungan pergaulan yang selalu menyebarkan ”energi positif”, yaitu sebuah kelompok yang selalu memberikan motivasi, dukungan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara positif kepada semua anggotanya, kita juga akan memiliki sikap yang positif. Prinsipnya, perilaku kelompok itu bersifat menular.
Motivasi dalam kelompok (peer motivation) adalah salah satu contoh energi yang memiliki kekuatan luar biasa, yang cenderung melatarbelakangi apa pun yang kita lakukan. Dalam konteks motivasi yang positif, seandainya ini menjadi sebuah budaya dalam geng, barangkali tidak akan ada lagi kata-kata ”kenakalan remaja” yang dialamatkan kepada kita. Lembaga pemasyarakatan juga tidak akan lagi dipenuhi oleh penghuni berusia produktif, dan di negeri tercinta ini akan semakin banyak orang sukses berusia muda. Kita juga tidak perlu lagi merasakan peer pressure, yang bisa bikin kita stres.
Budaya dalam geng tentunya tidak dapat diubah dengan sim salabim abra kadabra. Perlu komitmen yang besar dari masing-masing individu yang terlibat dalam kelompok tersebut. Semua berawal dari niat yang baik untuk selalu menjadi lebih baik. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memulai.
Pertama, berpikir positif. Segala bentuk sikap dan perilaku kita adalah perwujudan dari apa yang kita pikirkan. Jadi, dengan kata lain, perlakuan kita terhadap orang lain bergantung pada penilaian kita terhadap orang tersebut. Jika kita memiliki penilaian yang positif terhadap seseorang di antara sekian anggota geng yang lain, kita akan cenderung bersikap baik terhadap orang tersebut dan cenderung menolerir setiap kesalahan yang diperbuatnya. Begitu pula sebaliknya kita akan banyak melihat banyak kesalahan pada orang yang tidak kita sukai.
Nah, kalau kondisinya sudah seperti ini, biasanya akan ada ”tumbal” yang selalu jadi korban dalam sebuah geng, yaitu orang yang paling dipandang negatif. Di samping itu, cara pandang yang positif terhadap masing-masing anggota kelompok juga penting. Prinsipnya dianggap orang baik adalah kebutuhan semua orang. Jika kebutuhan itu terpenuhi, maka akan dapat meningkatkan citra diri yang positif masing-masing individu, dan itu akan berdampak pada perilaku yang positif pula.
Kedua, tentukan tujuan. Untuk apa geng itu dibentuk harus benar-benar memiliki tujuan jelas sehingga energi kita tersalurkan pada hal-hal yang terarah dan tidak terbuang sia-sia. Masing-masing anggota akan tahu apa yang harus dilakukan dan tentunya akan lebih produktif. Sebagai analogi, sebuah coretan tembok yang memiliki tujuan dan konsep yang jelas justru akan dapat memperindah suasana kota. Bahkan terkadang memiliki pesan-pesan yang bermakna. Sebaliknya, coretan-coretan yang asal-asalan justru akan menimbulkan kesan kumuh dan tentunya tidak indah. Pekerjaan yang sama akan memberikan hasil yang berbeda hanya karena tujuannya berbeda. Begitu pula dengan kelompok. So..., apa tujuan kita nge-geng?
Ketiga, dukungan kelompok. Masing-masing anggota kelompok harus bisa memberikan dukungan yang positif terhadap anggotanya, bukan malah saling memojokkan. Berikan semangat bagi yang melakukan kegagalan agar bisa memperbaiki, karena kegagalan adalah separuh perjalanan menuju sukses, dan berikan apresiasi yang tulus kepada yang berhasil memperbaiki dan melakukan kebaikan, sekecil apa pun prestasinya.
Seandainya selama ini kita selalu memberikan dukungan kepada teman kita kepada hal-hal yang lebih negatif dan kita selalu menganggapnya hebat jika teman kita mampu menyelesaikan hal ”konyol” dan ”bodoh”, kita harus berubah. Dukungan positif tidak hanya bermanfaat untuk orang lain, tapi juga mampu memberikan semangat kepada diri kita karena kita juga akan merasa terpacu. Di samping itu, dukungan positif juga penting untuk menjaga agar geng tetap terus bergerak secara energik dalam mencapai tujuan.
Sumber: Harian Kompas, Jumat, 07 April 2006

Jumat, 10 Oktober 2008

PaCaRan aMa Orang CadeL

Guys and Gals,,coba cermati orang2 or temen di sekitar kamu, apakah di antara mereka ada yang cadel?? Atou kamu punya pacar yang cadel?? Ok,,whatever!! No matter apakah cadel-nya ga bisa melafalkan huruf R dengan jelas atau ga bisa melafalkan huruf L dengan baik,,yang pasti segera temukan orang cadel,,,why?? Karena actually mereka memiliki keunikan tersendiri. Berikut beberapa fakta tentang orang cadel,,,
Pertama**lucunya orang cadel** tanpa harus nonton lenong atau srimulat kita udah bisa ketawa gratis dengan mendengar si cadel melafalkan beberapa huruf dengan tidak jelas, huruf R mungkin jadi terdengar ‘ey’ atau ‘el’ atau ‘ergh’,,,heu,,heu,,lucu kan?
Kedua**ruginya pacaran ama orang cadel** heu,,ternyata selain lucu orang cadel juga memiliki kekurangan,,yaitu, pacaran ama orang cadel kurang mengasikkan, ketika kita berciuman rasanya kurang poll karena si orang cadel itu lidahnya pendek,,jadi kurang bias explore ke daerah2 sensitif yang ada di dalam mulut,,(heu,,heu,,agak menjijikan!!) tapi akan terbantu jika si orang cadel itu punya bibir yang lumayan tebal,,si pasangan bisa explore gaya gigit bibir dengan cukup puas karena target lumayan tebal,,he,,he,,.
Ketiga**therapies buat orang cadel** ok,,si cadel ternyata bisa disembuhkan, beberapa caranya yaitu,,dia harus dilatih terus menerus a.k.a dibiasakan melafalkan huruf R atau L dengan benar,,atau dengan memberikan pijatan rutin di sekitar rahang karena diindikasikan bahwa sebenarnya orang yang cadel itu rahangnya kurang terbuka,,,so harus rajin2 dipijat,,,
So kalo pacar atau temen kamu cadel,,,pliz jangan disirikan (diejek, red) sebaliknya berikan pujian bahwa mereka lucu dan menggemaskan,,heu,,heu,,atau kalo kamu sayang sama dia dan mau dia sembuh, sok,,,atuh praktekin beberapa terapi di atas,,,Gud Lak!! Eh,, tapi kalo udah sembuh,,ngga lucu lagi dunk!!! Heu,,,,,,,,,,

N’Y,,,from many sources.

Rabu, 08 Oktober 2008

QUOTES from Eat Pray Love

EAT PRAY LOVE
Elizabeth Gilbert

silakan menikmati :P

-It is better to live your own destiny imperfectly than to live an imitation of somebody else’s life with perfection.

-People think a soul mate is your perfect fit, and that’s what everyone wants. But a true soul mate is a mirror, the person who shows you everything that’s holding you back, the person who brings you to your own attention so you can change your life. A true soul mate is probably the most important person you’ll ever meet, because they tear down your walls and smack you awake. But to live with the soul mate forever? Nah. Too painful. Soul mates, they come into your life just to reveal another layer of yourself to you, and then they leave. And thank God for it. Your problem is, you just can’t let this one go.

Jumat, 03 Oktober 2008

modus operandi baru,,??!!

well, I dont know whether it's gonna be a good news or bad news for you,,specially for boys,,
hwuei,,pcaya ngga di Florida sono,,yo'i,,United States,,belakangan ini muncul modus perampokan baru,,yakni,,cieh,,yakni...
jadi kemarenan dilaporkan oleh seorang pemuda umur18 yang bnama Morales, bahwa dia baru saja dirampok oleh 4orang gadis pirang yang tiba2 saja mencegatnya ketika dia hendak brangkat k tmpt kerjanya,,,ajaibnya,,4gadis tersebut,,merampok dengan cara unik (heu,,heu,,unik?/) mereka mengenakan over-all topless, tanpa bra yang artinya dada mereka terjun bebas dimuka si Morales,,(uhu,,seneng ga ya??? kalo perampoknya kaya gitu??)mreka mengambil paksa ransel dan sepeda Morales,,dan disinyalir,,,setelah kjadian tersebut c'Morales jadi Trauma melihat dada perempuan,,,!!masa sih?? ketgaihan kali ngga??? heu,,heu,,,
macem2 aja ya,,,sekarang dunia dah mpe sgitunya,,
buruan tobat ach!!!